Friday, January 9, 2009

Penyakit Lupus

Pengertian

Nama ilmiahnya lupus eritematosus sistemik (LES). Namun, lebih sering disebut lupus saja. Sedangkan penderitanya akrab disebut “odapus”, orang dengan lupus.

Menurut Robert G. Lahita, M.D., Ph.D, kepala bagian Rematologi dan Penyakit Jaringan Konektif RS St. Luke/Roosevelt, Amerika Serikat, penyakit ini, dibedakan jadi tiga tipe: lupus yang menyerang kulit (discoid lupus), yang menyerang sistem dalam tubuh, termasuk persendian dan ginjal (systemic lupus), dan lupus akibat pemakaian obat tertentu.

Dari ketiganya, discoid lupus paling sering menyerang. Namun, systemic lupus selalu lebih berat dibandingkan dengan discoid lupus, dan dapat menyerang organ atau sistem tubuh. Pada beberapa orang, cuma kulit dan persendian yang diserang. Meskipun begitu, pada beberapa orang bisa merusak persendian, paru-paru, ginjal, darah, organ atau jaringan lain.

Diagnosa

Lupus diketahui sebagai penyakit otoimun, penyakit yang muncul lantaran sistem kekebalan tubuh bereaksi berlebihan, yang justru mengganggu kesehatan tubuh. Di dalam tubuh manusia selalu ada sistem kekebalan tubuh, yang terdiri atas zat anti dan sel darah putih. Sistem imun ini bertugas melindungi tubuh manusia dari serangan antigen (musuh berupa bakteri, virus, mikroba lain). Pada lupus, oleh sebab yang belum diketahui, zat anti dan sel darah putih tadi justru menjadi liar dan menyerang tubuh yang seharusnya dilindungi. Akibatnya, organ-organ tubuh menjadi rusak dan gejala lupus pun muncul.

Perusakan jaringan tadi terjadi dengan dua cara. Zat anti langsung menyerang sel jaringan tubuh. Atau, zat itu masuk aliran darah dan bertemu antigen, lalu berkoalisi membentuk kompleks imun. Kompleks ini tetap ikut aliran darah sebelum tersangkut di pembuluh darah kapiler organ tertentu. Dalam keadaan normal, kompleks ini akan dieliminasi oleh sel-sel radang.

Sebaliknya, dalam keadaan tidak normal kompleks itu tidak dapat dihilangkan dengan baik dan sel-sel radang sebaliknya malah bertambah banyak sambil mengeluarkan enzim yang menimbulkan peradangan. Bila peradangan berlanjut, organ tubuh akan rusak, fungsinya terganggu sehingga menimbulkan gejala penyakit. Diduga, sinar matahari maupun hormon estrogen mempermudah terjadinya reaksi otoimun.

Penyebab
Lupus sebenarnya telah dikenal lebih kurang seabad lalu. Mula-mula lupus kala itu dikira akibat gigitan anjing hutan. Dugaan itulah yang menyebabkan penyakit ini kemudian disebut lupus yang berarti anjing hutan dalam bahasa Latin. Dalam perkembangan selanjutnya, lupus menyebar ke seluruh organ di dalam tubuh. Maka muncullah sebutan LES itu.

Menurut dr. Heru Sundaru dari Sub Bagian Alergi-Imunologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta, dalam seminar Penyakit Lupus dan Wanita yang diselenggarakan Yayasan Lupus Indonesia pada Juni 1998, penyebab lupus belum diketahui dengan pasti. Selain faktor keturunan, faktor lingkungan seperti infeksi virus, cahaya matahari, dan obat-obatan, diduga ikut berperan dalam timbulnya gejala.

Robert mengungkapkan, ada 10% penderita lupus memiliki keluarga dekat yang telah atau memiliki kemungkinan menderita lupus. Statistik juga menunjukkan, ada 5% anak yang dilahirkan odapus bakal memiliki kemungkinan menderita penyakit ini.

Meski lebih sering menyerang kaum wanita, terutama yang berusia dua puluhan tahun, “Tapi pria kemungkinan juga bisa terkena lupus,” jelas dr. Heru. Hasil survai yang dikutip dokter spesialis penyakit dalam itu menunjukkan, pada usia subur perbandingan wanita dan pria penderita lupus 10 : 1. Di RSCM perbandingannya 17 : 1.

Tingkat “keganasan” lupus juga berbeda menurut ras. Survai di AS menunjukkan, di antara 2.000 penduduk kulit putih ditemukan satu penderita. Sedangkan pada penduduk berkulit hitam dan keturunan Asia, frekuensinya lebih tinggi.

Gejala
Gejala penyakit ini dibedakan atas gejala umum dan gejala pada organ tertentu. Gejala umum yang sering ditemukan di antaranya, penderita sering merasa lemah, kelelahan berlebihan, demam, dan pegal-pegal. Gejala ini muncul ketika lupus sedang aktif dan menghilang ketika tidak aktif.

Organ-organ tubuh yang biasanya menunjukkan adanya lupus sangat banyak, dari kulit, ginjal, jantung, hingga otak. Pada kulit gejalanya berupa ruam merah berbentuk mirip kupu-kupu di kedua pipi. Di bagian tubuh lainnya terdapat bercak merah berbentuk cakram dan terkadang bersisik. Kerontokan rambut dan sariawan merupakan gejala lain pada kulit. Kalau dilihat secara utuh, penderita lupus dengan gejala-gejala tadi akan tampak mirip monster.

Pada dada timbul rasa sakit yang menimbulkan gangguan pernapasan. Bila jantung atau paru-paru terserang, penderita akan merasakan jantung berdebar atau sesak napas. Bila jantung mengalami kelainan lanjutan, kaki menjadi bengkak. Pada sistem otot gejala yang dirasakan penderita adalah rasa lemah atau sakit di otot. Pada pesendian akan dirasakan sakit, baik dengan ataupun tanpa pembengkakan dan kemerahan. Pada darah terjadi penurunan jumlah sel darah merah, putih, dan sel pengatur pembekuan darah.

Sedang pada saluran pencernaan muncul gejala sakit perut, mual, muntah, diare, atau sukar buang air besar. Pada ginjal terjadi gangguan fungsi yang mengakibatkan tidak dapat dikeluarkannya racun hasil metabolisme dan banyaknya kandungan protein dalam urine. Pada sistem saraf timbul gangguan pada otak, saraf sumsum tulang belakang dan saraf tepi, yang mengakibatkan pusing atau kejang. Bahkan, bisa sampai menimbulkan stroke dan gangguan jiwa, meskipun ini jarang terjadi.

Menurut dr. Heru, pada 1971 untuk bisa menentukan seseorang terserang lupus setidaknya diperlukan 14 kriteria. Pada 1982 kriteria itu menjadi 11. Sekarang, diperlukan hanya empat kriteria. “Tapi bukan berarti kalau ada tiga kriteria bukan lupus. Tiga kriteria saja sudah bisa menunjukkan kemungkinan adanya penyakit lupus,” tambah dr. Heru. Bahkan, bila menunjukkan gejala pada dua atau lebih organ atau sistem tadi, seseorang harus diwaspadai menderita lupus.

Gejala lupus sering menyerupai penyakit lain, sehingga penyakit ini sering dijuluki Si Peniru Ulung. “Karena itu kita harus hati-hati dalam menginterprestasikan hasil pemeriksaan,” jelas dr. Heru. Bisa saja dokter menduga pasiennya terserang sifilis, batu ginjal, atau rematik, seperti yang dialami Tiara Savitri, penderita lupus yang kini menjadi Ketua Yayasan Lupus Indonesia. Bahkan, menurut Robert, tidak akan ada dua penderita systemic lupus memiliki gejala yang sama. “Tipu daya” macam itu tidak jarang menyebabkan dokter maupun penderita frustasi akibat penyakitnya tak kunjung membaik.

Untuk mendiagnosis penyakit ini dengan pasti diperlukan pemeriksaan darah atau biopsi kulit. Keduanya untuk memeriksa antibodi-antibodi yang muncul ketika lupus sedang aktif.

Hal ini sangat penting untuk diberitahukan bahwa gejala lupus akan muncul hanya jika orang tersebut meningkatkan jumlah konsumsi obat-obatan yang memiliki resiko tinggi dalam memerangi lupus atau cenderung memakan obat untuk waktu yang lama.

Pencegahan

Pada umumnya diet yang sehat harus meliputi vitamin penting dan mineral merupakan yang paling efektif mencegah dan memerangi lupus. Pengobatan lupus harus menjamin bahwa pasien sudah mengkonsumsi nutrisi yang cukup dan pengecekan rutin. Latihan pernapasan dan meditasi dapat dicoba untuk pengobatan lupus agar menenangkan pasien dan mengurangi resiko kulit bercak-bercak.

Perawatan

Sampai sekarang, penyakit ini belum bisa disembuhkan atau dicegah. Yang bisa baru sebatas menghilangkan gejalanya. Caranya dengan mengkonsumsi obat-obatan seumur hidup, menjalani pola hidup tertentu, dan menghindari stres.

Sedangkan lupus akibat pemakaian obat umumnya berkaitan dengan pemakaian obat hydralazine (obat hipertensi) dan procainamide (untuk mengobati detak jantung yang tidak teratur). Hanya saja, cuma 4% dari orang yang mengkonsumsi obat-obat itu yang bakal membentuk antibodi penyebab lupus. Dari 4% itu pun sedikit sekali yang kemudian menderita lupus.

Meski masih belum bisa disembuhkan, odapus tetap bisa mendapatkan pengobatan agar bisa hidup lebih lama seperti orang sehat. Pengobatan ditujukan untuk menghilangkan gejala lupus yang ada. Pengobatan juga perlu didukung perubahan pola hidup, pengendalian emosi, pemakaian obat secara tepat, dan pengaturan gizi seimbang.

Menurut dr. Harry Isbagyo, SpPD, KR, dari Sub Bagian Reumatologi, Bagian Penyakit Dalam, FKUI/RSCM, dalam proses pengobatan pasien mesti dievaluasi minimal tiga bulan sekali, tergantung status kesehatannya. Tujuannya, mengevaluasi aktivitas penyakit dan menentukan pengobatan selanjutnya. “Penyakit ini berlangsung lama, bisa bertahun-tahun. Jadi harus sabar dalam menjalani pengobatan,” jelas dr. Harry.

Penderita memerlukan program pengaturan lama beraktivitas dan lama tidur. Menurut dr. Harry, bagi odapus, kecapekan dan stres berat merupakan penyebab tercetusnya gejala lupus. Karena itu, hidup teratur merupakan keharusan. “Olahraga juga boleh. Tapi jangan dipaksakan, misalnya jangan dilakukan pada siang hari saat matahari sudah kuat,” tambah dr. Heru.

Meski tidak semua odapus sensitif terhadap sinar matahari, mereka dianjurkan menghindari paparan sinar matahari secara langsung untuk waktu lama karena kekambuhan penyakit sering terjadi setelah terpapar sinar ultraviolet. Dr. Heru menganjurkan penderita keluar rumah hanya sebelum pukul 09.00 atau sesudah pukul 16.00. Ketika keluar rumah, penderita memakai sun block atau sun screen (pelindung kulit dari sengatan sinar matahari) pada bagian kulit yang akan terpapar. Dr. Harry juga menyarankan penderita mengenakan pakaian yang tepat.

Menurut dr. Harry, penderita perlu segera mencari pertolongan medis bila timbul gejala panas tanpa diketahui penyebabnya. Bila hendak mendapat berbagai tindakan medik, macam pengobatan gigi, tindakan terhadap saluran kemih dan kandungan, atau tidakan bedah lainnya, penderita perlu berkonsultasi dengan dokter untuk mendapatkan antibiotika pencegahan. Bila penderita terserang pada organ utama, seperti ginjal, paru, jantung, dsb., penyakitnya sedang aktif, atau dalam pengobatan dengan obat-obatan imunsurpresif, dia sebaiknya dicegah dari kehamilan.

“Penderita yang penyakitnya sedang aktif, jarang sekali bisa hamil. Kalaupun bisa hamil biasanya akan menimbulkan keguguran. Karena itu, kalau berhasil hamil sebaiknya penyakitnya selalu dikontrol,” tegas dr. Harry. Namun dokter ini juga mengingatkan bahwa yang terbaik adalah kehamilan terencana. Artinya, selama penyakitnya aktif, kehamilan dihindarkan dan pengobatan dilakukan secara intensif. Odapus dianjurkan menghindari kontrasepsi yang mengandung estrogen. Setelah penyakitnya teratasi, barulah merencanakan kehamilan.

Dalam pengobatan lupus, ada dua kategori obat yang digunakan, yakni golongan kortikosteroid dan golongan selain kortikosteroid. Golongan kortikosteroid merupakan obat utama penyakit lupus. Untuk kelainan kulit diberikan dalam bentuk topikal (salep, krem, atau cairan). Untuk lupus ringan digunakan kortikosteroid dalam bentuk tablet dosis rendah. Bila lupus sudah dalam kondisi berat, digunakan kortikosteroid dalam bentuk tablet atau suntikan dosis tinggi. “Kalau sudah menyerang otak, misalnya, dosisnya bisa sampai 1.000 mg per hari,” jelas dr. Harry. Setelah kondisinya teratasi, dosis diturunkan sampai dosis terendah yang dapat mencegah kambuhnya penyakit.

Obat golongan bukan kortikosteroid biasanya merupakan pelengkap obat kortikosteroid. Di antara obat golongan ini adalah antiinflamasi nonsteroid (OAINS) untuk mengatasi keluhan nyeri dan bengkak sendi; obat antimalaria (kloroquin/resochin, dihidroksi kloroquin/plaquenil) untuk mengatasi gejala penyakit pada kulit, rambut, nyeri otot dan sendi, bahkan untuk odapus dengan gejala ringan; dan obat imunosupresif macam siklofostamid untuk kondisi yang disertai gangguan ginjal, azatioprin yang merupakan obat pendamping kortikosteroid agar kebutuhan kortikosteroid dapat dikurangi, dan klorambusil.

Penggunaan obat-obat tadi mesti dengan pertimbangan matang mengingat efek sampingan yang ditimbulkan. Obat kortikosteroid, misalnya, bisa memberi efek sampingan berupa wajah membulat (moonface), penyakit cushing, osteoporosis, diabetes melitus, hipertensi, gangguan lambung, dsb. OAINS menimbulkan gangguan lambung, ginjal, darah, dsb. Obat antimalaria memberi dampak gangguan penglihatan akibat deposit di kornea mata dan retinopati. Sedangkan imunosupresif memberi efek sampingan berupa mual atau muntah, gangguan darah, ginjal, dan mudah terkena infeksi.

Meski efek sampingan tak dapat dihindarkan (yang bisa hanya mengurangi), pengobatan mesti dilakukan. “Pencegahan penyakit ini belum bisa dilakukan karena penyebab pastinya saja belum diketahui,” ungkap dr. Heru. Meski begitu, kalau sudah positif terkena lupus, segala upaya mesti tetap dilakukan agar penderita bisa menikmati hidup dengan baik. “Odapus bisa bertahan lebih lama dengan penggunaan obat secara terkontrol,” tegas dr. Harry. “Yang penting adalah dosisnya. Dosis dipilih seringan mungkin,” tambahnya.

Kini, angka harapan hidup penderita lupus sudah termasuk sangat tinggi. Di AS dan Eropa, kalau pada tahun 1955 harapan hidup penderita lupus dalam waktu lima tahun kurang dari 50%, maka pada tahun 1991 telah mencapai 89 - 97%. Bahkan, harapan hidup 10 tahun telah mencapai 83 - 93%. Semuanya lantaran adanya cara-cara diagnosis lebih dini dan metode pengobatan lebih baik. (Gde)

No comments: