Peneliti menemukan di antara lebih dari 2.200 pekerja pemerintahan di Inggris, bekerja dalam waktu lama memiliki kaitan performa buruk pada tes fungsi kognisi, termasuk penurunan mental bertahap secara akut sejalan waktu.
Riset yang dipublikasikan dalam American Journal of Epidemiology, 1 Maret 2009 itu membandingkan para subjek dengan waktu kerja 55 jam lebih perminggu dengan kelompok pria dan wanita yang bekerja dalam rentang 35 -40 jam perminggu. Ternyata kelompok yang lebih dari 40 jam perminggu menunjukkan penurunan kemampuan beralasan terstruktur, dalam lima tahun sesudahnya.
Namun Marianna Virtanen, pemimpin penelitian sekaligus doktor dari Finnish Institute of Occupational Health di Helsinki masih menyatakan kemungkinan ada faktor tak terukur lain yang mengaitkan antara bekerja dalam waktu lama dengan fungsi kognisi lemah.
Bahkan jika ada "efek nyata", menurut Mariannne, penurunan terhubung dengan bekerja dalam waktu lama tidak terlampau kuat.
Penemuan itu sendiri merupakan hasil penelitian yang dilakukan lima tahun kepada 2.214 subjek kelas pekerja berusia menengah. Pada awal dan akhir periode riset, para subjek karyawan diminta melengkapi lima tes standar fungsi kognitif.
Secara umum, pekerja menghabiskan waktu 55 jam-hingga-lebih perminggu mendapat skor lebih rendah dalam satu tes yaitu tes kosakata, baik dalam awal maupun akhir riset. Mereka juga menunjukkan tanda-tanda penurunan dalam tes aliran kecerdasan, yang berhubungan dengan kemampuan seseorang berargumen terstruktur dan memecahkan masalah.
Mereka yang bekerja berjam-jam lamanya juga cenderung memiliki tingkat stress tinggi, gangguan tidur, dan minum alkohol lebih banyak ketimbang rekan mereka yang bekerja dalam waktu standar.
Sementara bagi para pekerja giliran malam, masalah timbul pada kebiasaan tubuh. Memang, pekerja malam mengakali dengan tidur di pagi hingga siang hari untuk mengganti kebutuhan tidur 8 jam perhari. Masalahnya, tubuh harus dibuat melawan siklus alami yakni bekerja berdasar cahaya terang dan beristirahat saat gelap malam.
Bukti dari para ahli menunjukkan pengalihan jam tubuh alami mempengaruhi ritme jantung, sehingga memicu perubahan hormonal dan metabolisme. Pengalihan itu ternyata meningkatkan resiko obesitas, diabetes, hingga penyakit jantung. Laporan penuh dari riset terpisah atas shift-malam itu telah dipublikasikan dalam antologi kumpulan penelitian National Academy of Sciences.
Peneliti yang melaporkan menekankan 8,6 juta pekerja malam di Amerika Serikat (AS) termasuk pekerja pabrik, rumah sakit, polisi, pemadam kebakaran, pilot, kru jalan raya, media, dan pengemudi truk. Giliran-malam, dalam definisi National Sleep Foundation di AS adalah tipe jadwal yang berada di luar standar jam bisnis normal nine-to-five.
"Dalam jangka lama, efek psikologis giliran malam ditandai beberapa gejala termasuk pada berat badan, gangguan insulin, dan kortisol, terlihat berkontribusi meningkatkan resiko diabetes, penyakit jantung, dan obesitas, " ujar pimpinan riset, Frank Scheer,instruktur obat-obatan di divisi obat tidur, Rumah Sakit Wanita Brigham dan Kedokteran Havard
Dalam tes, para ahli melakukan tes laboratorium menyetimulus efek jet lag (atau efek berkepanjangan pada kerja malam). Partisipan dalam riset tersebut adalah lima pria dan lima wanita yang mengikuti jadwal perubahan tidur dan pola makan hingga delapan hari. Selama periode tersebut, semua partisipan makan dan tidur dalam fase siklus istirahat dan penyerapan yang didesain dengan diikuti jadwal kerja.
Hasilnya, riset mengungkapkan jika interupsi terhadap jadwal tubuh alami menyebabkan penurunan leptin, hormon yang mengatur berat badan. Menurut para ahli, penurunan kadar leptin dapat mengakibatkan peningkatan selera makan dua kali lipat, dengan aktivitas tak terlalu banyak tentu akan mempercepat kegemukan hingga obesitas. Sebagai tambahan, riset juga menunjukkan terjadinya perubahan kadar gula darah dan tingkat insulin yang menghasilkan toleransi melemah terhadap glukosa. Itu artinya mengurangi sensitifitas insulin.
Padahal, fakta dalam riset, para partisipan yang mengikuti penelitian tidak pernah memiliki riwayat diabetes sebelumnya. Namun setelah mengikuti sejumlah tes jadwal kerja malam, tubuh mereka mulai membentuk kadar glukosa mirip seperti pada pasien diabetes juga peningkatan tekanan darah.
Puncak perubahan hormon tersebut ditandai ketika jadwal partisipan benar-benar berada 12 jam penuh diluar siklus istirahat-aktivitas alami manusia--yakni jadwal dimana tubuh alami seharusnya tidur tapi mereka tetap terjaga sepanjang malam.
Frank sendiri memang tidak terburu-buru menganggap hasil penelitian adalah mutlak. Ia mengaku masih membutuhkan studi lebih lanjut, terlebih waktu riset pun tidak cukup panjang. "Kami masih belum tahu dampak jangka panjang kerja giliran malam terhadap hidup karyawan kedepan," ujarnya.
"Karena kerja giliran malam seringkali mempengaruhi tingkat kewaspadaan dan fungsi Gastro Intestinal sesorang, dan mereka yang tidak mampu mengatasi kondisi itu dengan baik, bakal mengalami penurunan kondisi tubuh dan mental drastis. Artinya pula, mereka yang bertahan melakukan pekerjaan malam mungkin tidak terlalu terpengaruh oleh masalah-masalah tersebut dan tak terlalu sensitif dengan perubahan jam tubuh alami. Itulah pertanyaan kedepan nanti," papar Frank.
No comments:
Post a Comment