Bagi Endi Bayuni, 51, mengorok saat tidur sudah menjadi bagian dari hidupnya selama bertahun-tahun. Semula, redaktur harian The Jakarta Post itu menganggapnya sebagai hal yang wajar.
Ia juga tidak pernah menyangka serangan kantuk di siang hari yang kerap membuatnya tertidur di tengah rapat atau bahkan saat menyetir mobil ternyata berhubungan dengan tidur mengorok yang selama ini dialaminya.
Hingga akhirnya, atas saran seorang teman, Endi menjalani pemeriksaan di sebuah laboratorium tidur pada sebuah rumah sakit. Hasilnya menunjukkan kualitas tidur Endi tergolong sangat buruk. Rekaman laboratorium menunjukkan ketika tidur ia mengorok dengan disertai periode berhenti bernapas berkali-kali. Hal itu berdampak buruk pada kualitas kesehatan Endi.
Untuk mengatasinya, Endi disarankan menggunakan masker khusus yang harus digunakan saat tidur. Untuk lebih memantapkan diagnosis, Endi kemudian mencari second opinion dengan berkonsultasi pada dokter lain.
''Waktu itu saya datang ke dokter THT (spesialis telinga hidung & tenggorok). Ia menyarankan saya menjalani operasi di mulut agar tidak mengorok lagi. Meski dikatakan itu operasi kecil, saya tidak berani menjalaninya,'' tutur Endi.
Akhirnya, Endi pun memilih penggunaan masker khusus untuk mengatasi gangguan tidur yang dialaminya. Endi mengaku alat tersebut sangat bermanfaat. Selain bebas dari kebiasaan mengorok, ia tidak lagi terkantuk-kantuk di siang hari. ''Awalnya memang agak repot, tapi lama-lama jadi terbiasa. Terlebih, manfaatnya sangat membantu,'' ujar Endi.
Apa yang dituturkan Endi bisa jadi dialami juga oleh banyak orang lain. Mereka memiliki kebiasaan tidur mengorok dan menganggapnya sebagai sebuah kewajaran. Padahal, seperti yang dibuktikan Endi melalui pemeriksaan di laboratorium tidur, kebiasaan mengorok juga perlu diwaspadai.
''Mengorok yang perlu diwaspadai adalah mengorok yang disertai periode henti napas. Dalam dunia medis, hal itu dikenal sebagai obstructive sleep apnea (OSA) dan merupakan salah satu jenis gangguan tidur yang serius,'' ujar dr Andreas Prasadja, sleep technologist dari Rumah Sakit (RS) Mitra Kemayoran Jakarta, pada kesempatan yang sama.
Lebih lanjut, dokter penyandang gelar registered polysomnographic technologist (RPSGT) dari Sleep Medicine & Technology University Sidney itu mengungkapkan mengorok terjadi karena menyempitnya jalan udara pernapasan di sekitar pangkal tenggorok oleh jaringan soft palate.
Soft palate merupakan jaringan lunak di pangkal langit-langit mulut. Saat tidur, otot-otot dalam keadaan rileks, soft palate akan jatuh terkulai ke pangkal tenggorok dan mempersempit rongga pernapasan. Hal itulah yang menyebabkan peristiwa mengorok.
Henti napas
Ketika soft palate jatuh hingga menutup seluruh jalan pernapasan, udara tidak dapat masuk paru dan terjadilah henti napas. Peristiwa henti napas ditandai dengan suara mengorok yang tersendat dan dada naik turun berusaha mengambil udara pernapasan.
Seseorang yang mengalaminya kemudian akan terjaga sejenak dari tidur untuk mengambil napas dengan tersengal-sengal (gasping). Meski terjaga, penderita tidak terbangun dari tidur. ''Peristiwa henti napas terjadi berkali-kali tanpa disadari karena saat itu penderita tetap tertidur,'' ujar Andreas.
OSA membuat kualitas tidur penderitanya memburuk. Bahkan bisa membuat penderitanya mengalami penyakit berbahaya seperti hipertensi, jantung, stroke, dan diabetes. Penyakit itu muncul sebagai dampak kekurangan suplai oksigen dan meningkatnya kadar karbon dioksida dalam tubuh yang terjadi saat penderita OSA mengalami henti napas. Henti napas pada penderita OSA bisa terjadi hingga puluhan detik.
OSA ditandai dengan beberapa gejala. Antara lain, tidur mengorok, bangun tidur tubuh terasa lesu, sakit kepala, rasa mengantuk berlebih di siang hari, menurunnya performa kerja maupun belajar, dan sering tabrakan saat mengendarai mobil atau motor.
Andreas menambahkan, penegakan diagnosis OSA dilakukan dengan pemeriksaan di laboratorium tidur (sleep study). Pasien harus menginap dan tidur semalam di laboratorium tersebut. Saat pasien tertidur, dilakukan perekaman terhadap pernapasan, gelombang otak, dan jantung.
''Seseorang yang mengalami henti napas 0-5 kali per jam masih digolongkan normal. Bila henti napas terjadi 5-15 kali per jam tergolong OSA ringan, 5-30 kali per jam tergolong sedang, dan lebih dari 30 kali tergolong berat,'' terang Andreas.
Sejauh ini, belum ada obat-obatan yang bisa mengatasi OSA. Untuk mengatasinya bisa dilakukan dengan operasi pemotongan sebagian jaringan soft palate atau penggunaan masker continuous positive airway pressure therapy (CPAP). Masker CPAP harus digunakan penderita sewaktu tidur. Masker itu berfungsi mengalirkan udara bertekanan sehingga penderita OSA tidak mengalami henti napas.
1 comment:
baru tau ternyata mengorok bahaya, thanks infonya
Kenali dan Kunjungi Objek Wisata di Pandeglang
Mengembalikan Jati Diri Bangsa
Post a Comment