Wednesday, November 18, 2009

Makanan Berlemak Picu Nafsu Makan Berlebih

Pengobatan Ustadz Galih Gumelar - Apakah Anda termasuk termasuk orang yang sulit berhenti mengemil atau makan berat? Jika ya, Anda bisa menyalahkan otak Ada yang menjadi biang keladi dibalik nafsu makan yang besar tersebut. Demikian hasil penelitian yang diterbitkan Journal of Clinical Investigation, September ini.

Penelitian ini memperkirakan molekul yang berasal dari lemak bergerak menuju otak usai makanan dicerna, dari situ respon yang ditimbulkan tubuh adalah tidak bisa berhenti makan.

"Normalnya, tubuh kita akan merespon bila merasa kenyang, tapi itu tidak selamanya terjadi ketika kita makan makanan yang enak," tukas Deborah Clegg, Asisten Profesor Internal Medicine, Universitas Southwstern, Texas seperti yang dikutip Healthday.

Lebih jauh dia menjelaskan, penelitian juga menemukan fakta dimana zat kimia lain yang diproduksi otak bisa berubah dalam periode yang singkat. Penemuan itu diduga terjadi saat masyarakat mengkonsumi makanan dengan kadar lemak tinggi.

"Otak secara spontan mendapatkan senyawa kimia yang berasal dari lemak, anda lantas menentang insulin dan leptin, enzim yang memberi perintah bagi tubuh untuk berhenti makan. Sejak anda tidak mengatakan kepada otak untuk berhenti makan maka anda akan mengkonsumsi makanan secara berlebih," tukasnya.

Sayangnya, penlitian masih terbatas pada hewan pengerat belum terbukti pada manusia. Efek dari senyawa yang diproduksi lemak muncul usai 3 hari mengkonsumsi makanan kaya lemak. Adapun jenis asam yang diduga merugikan kesehatan antara lain asam Palmitik, banyak ditemukan pada sapi dan produk olahanya macam mentega, keju, susu.

Sayur & Buah untuk Cegah Depresi

Pengobatan Ustad Galih Gumelar -Menjalankan diet tidak sehat dan banyak mengkonsumsi makanan berlemak berpotensi sebabkan depresi. Sebaliknya, mengkonsumsi sayuran, buah-buahan dan ikan bantu cegah depresi. Demikian laporan singkat hasil penelitian yang diterbitkan Universitas London dalam British Journal of Psychiatry.

Dalam riset tersebut, peneliti membandingkan dua grup yang berbeda. Grup pertama merupakan sekumpulan individu yang cenderung bergaya hidup sehat dengan memperhatikan pola makan mereka. Sementara grup kedua merupakan sekumpulan individu yang mengonsumsi makanan serba goreng, dan mengandung lemak serta gula tinggi.

Hasilnya, hanya 26% dari grup pertama yang berisiko terkena depresi. Sementara, grup kedua, bersiko dua kali lipat dari grup pertama sekitar 58%.

Dalam keterangannya, peneliti menemukan fakta dimana setiap individu dalam grup pertama banyak mengkonsumsi sayuran dan buah-buahan. Kandungan oksidan yang terkandung dalam sayuran dan buah-buahan diyakini peneliti menjadi fasktor pengurang resiko depresi.

Peneliti juga menemukan, sebagian besar individu pada grup pertama banyak mengkonsumsi ikan. Artinya, protein yang terkandung dalam ikan mengandung asam lemak tak jenuh yang menstimulasikan aktivitas otak. Dengan begitu mengurangi potensi depresi.

Sementara pada grup kedua, dimana merupakan sekumpulan individu yang tidak memiliki pola makan sehat, banyak menerima efek negatif dari makanan yang dikonsumsinya.

"Penelitian yang kami lakukan menyarankan agar dibentuk semacam kebijakan mengonsumsi makanan yang sehat guna menghasilkan manfaat secara umum kepada setiap individu. Selain itu, menreapkan pola makan sehat bisa menjadi cara terbaik guna menghindarkan diri dari depresi, " ungkap peneliti sepertii yang dilansir AFP.

Penelitian sendiri mengambil 3.486 sukarelawan yang rata-rata berusia 55 tahun dan bekerja sebagai pelayan publik di London, Inggris. Setiap sukarelawan diberikan kuasioner yang menggambarkan pola makan sukarelawan dan catatan depresi yang dimiliki sukarelawan.

Masuki Usia Pensiun, Pria Sulit Tidur

Pengobatan Ustad Galih Gumelar -Bagi para pensiunan, hari pertama menikmati masa tua merupakan hal yang menakutkan. Riset yang berlangsung di Perancis menyebutkan 15 ribu pekerja di Paris mengalami susah tidur setelah 7 tahun memasuki masa pensiun. Gangguan ini meningkat sebanyak 26% ketimbang 7 tahun sebelum para pekerja pensiun.

Para peneliti memperkirakan, kualitas tidur yang menurun disebabkan beberapa faktor dimana tekanan psikologi seperti stres begitu dominan. "Pada riset sebelumnya ditemukan bukti kuat yang menghubungkan antara stres kerja dan gangguan tidur, tapi riset kesehatan yang fokus pada efek dari pensiun juga menghasilkan fakta yang sama," tegas Jussi Vahtera, Peneliti asal University of Turku in Finland. seperti yang dilansir Health Day.

Dia juga menjelaskan, dari berbagai riset sebelumnya juga meletakan faktor pensiun sebagai penyebab stres.

Sementara itu, riset yang dilakukan Jussi dan koleganya mencatat angka 24% dari pegawai pensiunan perusahaan gas dan listrik mengalami gangguan tidur. Kondisi demikian terjadi setahun sebelum pensiun. Jussi serta tim peneliti juga mencatat angka 18% dari pegawai perusahaan yang sama mengalami gangguan tidur, setahun setelah pensiun. Namun, riset tidak menyebutkan secara detail jenis gangguan tidur macam apa yang kerap menimpa pesiunan.

Dari hasil riset juga diketahui bahwa penurunan gangguan tidur umumnya dialami pensiunan berkelamin pria. Mereka dilaporkan mengalami depresi atau tekanan mental sebelum pensiun. Riset juga mencatat, perbaikan tidur hanya dialami pensiunan pria yang biasanya pekerja berlevel manajemen, dan pekerja bersistem shif atau pekerjaan yang tidak terlalu memberikan tekanan. Menurut Jussi, hanya pensiunan yang gagal berprestasi saja yang sulit memperbaiki kualitas tidur.

"Kami meyakini, riset yang dilakukan sesuai dengan kondisi dimana pemberian insentif begitu minim bagi para pensiunan," tukas Jussi. Di negara dan posisi, masih dia menjelaskan, yang tidak berani menjamin kesejahteraan pensiun akan diikuti dengan kejadian stres, gangguan tidur bahkan sebelum memasuki pensiun.

Menanggapi riset tersebut, Dr. James P. Krainson, medical director of the South Florida Sleep Diagnostic Center in Miami menyebut riset begitu menarik namun baru terbatas pendahuluan.

"Data yang masuk berasal dari perusahaan yang sama, berati tidak bisa mewakili seluruh pekerja di AS," tukas James. Menurut dia, kualitas tidur merupakan sesuatu yang dicari saat memasuki usia pensiun tetapi riset tidak menjelaskan secara definitif sehingga membutuhkan penelitian lebih lanjut untuk mengetahuinya.

Riset sendiri mengambil sukarelawan pensiunan dari berbagai bidang, dengan populasi 11.581 pria dan 3.133 wanita yang memasuki masa pensiun antara tahun 1990 dan 2006. Rata-rata populasi berusia rantara 55 dan 60 tahun, dan 80%nya telah mendapatkan ongkos pensiunan. Riset telah dipublikasi sejak 1 November 2009.

Wanita Cenderung Alami Serangan Jantung

Pengobatan Ustad Galih Gumelar - Serangan jantung sering diidentikan dengan kaum pria. Padahal, perempuan memiliki potensi lebih besar terkena serangan jantung. Demikian keterangan, Joko Maryono, Ahli Penyakit Dalam Rumah Sakit Medistra Jakarta, disela Seminar Tentang Jantung yang digagas Astra Zaneca di Jakarta.

Menurut Joko, perkembangan terkini perbandingan kasus serangan jantung antara pria dan wanita mencapai 1 : 1,5. Selang waktu tak lama, perbandingan akan meningkat menjadi 1:2. "Hal ini terjadi karena kesehatan perempuan tidak diperhatikan," tukasnya.

Lebih jauh dia menjelaskan, setidaknya ada beberapa faktor penyebab mengapa jumlah kasus serangan jantung pada perempuan meningkat drastis.

Pertama, tingkat frekuensi pemeriksaan medis pada perempuan cenderung minim ketimbang pria. Menurut Joko, kondisi ini begitu ironis sekalipun tingkat harapan hidup perempuan begitu tinggi.

Faktor kedua adalah masalah aktivitas. Joko menilai, perempuan tidak memiliki aktivitas yang padat layaknya pria. Sebab itu, rasa nyeri di dada kerap diabaikan.

"Perempuan itukan minim aktivitas. Kasus yang sering terjadi adalah mereka tidak pernah mengeluh sekalipun sakit. Mereka menganggap hal itu biasa, toh mereka tidak melakukan hal yang berat maka rasa sakit bukanlah hal yang serius," tegasnya.

Faktor lainnya yang turut berperan adalah asupan gula dan lemak tinggi. Dia berpendapat, biasanya faktor asupan memang tidak begitu dominan, lantaran perempuan begitu menjaga pola makan mereka. Justru, pada faktor ini, pria jauh lebih parah.

Kurangnya Kesadaran

Selain ketiga faktor tadi, faktor kurangnya kesadaran perempuan terhadap gejala penyakit kardiovaskular menjadi masalah utama. Sebabnya, perempuan tidak mendapatkan pertolongan yang tepat waktu lantaran pihak pasien dan dokternya terlambat mengambil kesimpulan terhadap gejala penyakit jantung.

Data Badan Epidemiologi Nasional di AS, seperti yang dikutip dari Yayasan Jantung Indonesia, mencatat, proporsi wanita yang mengalami kematian diluar rumah sakit lebih tinggi daripada pria. Hampir 52% perempuan mengalami serangan jantung diluar rumah sakit, dibandingkan hanya 42% pada pria. Hal ini terjadi karena gejala penyakit jantung pada perempuan sulit dikenali.

Ahli Penyakit dalam, Fakultas Kedokteran UI dan Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta, Yoga Yuniadi dalam tulisannya menyebutkan, penelitian-penelitian sebelumnya menunjukan, perempuan cenderung sering mengeluh nyeri pada rahang atau leher dan nyeri bahu, mual, muntah, lemas atau kembung sebagai gejala penyakit jantung dibandingkan pria.

"90% perempuan yang disurvei pada tahun 1997 tidak menyadari akan gejala yang tidak khas itu. Dilain pihak, pria lebih sering mengalami gejala nyeri dada tipikal yang menjalar sehingga mereka dan tenaga medis segera mengenali sebagai serangan jantung," tulisnya.

Sebab itu, Yogi menyarankan agar informasi terkait penyakit kardiovaskular harus dikomunikasikan secara intensif. Tidak hanya pada pasien saja tapi juga para dokter. Dengan cara itu, jumlah kasus perempuan yang terkena serangan jantung bisa diminimalisir.